Jika direalisasikan, peraturan uji
keperawanan bagi setiap calon siswi yang akan masuk jenjang SLTP dan SMU
dikhawatirkan akan menimbulkan trauma psikis yang mendalam. Trauma yang
dialami berhulu dari stigma masyarakat yang menimbulkan diskriminasi
hingga merusak masa depan anak.
Usulan yang dikemukakan oleh anggota
DPRD Provinsi Jambi pada akhir bulan September lalu ini walau telah
dirancang hanya berupa tes wawancara, ditakutkan menimbulkan stigma yang
akan terus melekat pada koresponden uji keperawanan tersebut. Biarpun
demikian, sangat berpotensi pula terjadi bentuk lain sebuah kekerasan
yang dialami calon siswi tersebut secara simbolis.
“Kondisi tersebut cenderung menimbulkan
diskriminatif dan dikhawatirkan akan membuat murid trauma secara
kejiwaan, sehingga kondisi semakin tidak memudahkan akses bagi murid
untuk meraih ilmu dalam proses belajarnya serta tidak menjamin tidak
adanya pelanggaran hak asasi manusia,” jelas dr. Andri Andri, SpKJ. saat
dihubungi arNews.
Usulan ini bukan yang pertama kali
mengemuka, pada tahun 2007 pernah diusulkan konsep yang serupa dari
Kabupaten Indramayu. “Namun bagaimanapun kita harus melihat ini dari
perspektif obyektif, hal seperti ini sampai ke permukaan kalau bukan
adalah semacam fenomena gunung es dari dekadensi nilai moral pada remaja
dewasa ini,”tambah dr. Andri.
Kendati demikian
kekhawatiran-kekhawatiran dari dampak uji tes tersebut lebih dominan
tersuarakan daripada pesan-pesan pencegahan edukasi seks pada remaja.
Sebagaimana kita tahu bersama, hal yang paling esensial dalam mengobati
adalah mencegah, oleh karena itu edukasi tahap dasar dan awal sangat
penting lingkungan pembelajaran, yakni lingkungan keluarga.
0 Comments:
Posting Komentar