Amnesia Kolektif

on 6 Juli 2011
MELAWAN lupa sejarah. Kemarin yang pergi dengan segala seremoninya, di sana-sini rusuh dan perang mengental. Mengapa ada ingatan keliru dalam otak sadar? Mengapa kesadaran datang setelah sejurus duka mengedepan? Bencana konstalasinya akan terus meninggi dan memecah di ruang pemikiran, seperti itu juga, teori mendahului peristiwa, dirancang dalam cita-cita, dievaluasi dan menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan. Apa yang terlupa dari sejarah? Apa yang sudah dikaburkan oleh sistem dan perlakuan penyelenggara kuasa? Adalah keadilan dan kemakmuran yang hari ini jadi pertanyaan tanpa jawaban.

Telusuri lebih jauh, sejarah dalam ketika yang gelap. Berangkat dari pengalaman yang ada di berbagai negara, mari melihat lebih dekat apa yang terjadi di negeri kita sendiri. Pembenaran masa silam yang gamang, ketika reformasih dikumandangkan dan regime orba dihempaskan, ada usulan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Kerja itu dianggap sebagai upaya mencari penyelesaian terhadap kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan oleh regime sebelumnya. Upaya itu sebagaimana disebutkan oleh pemerintahan transisi ketika itu “akan diusahakan seadil-adilnya”. Tapi, di titik itu, upaya ini menjadi sangat politis. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi itu dapat dilihat sebagai sebuah pengakuan ketidakmampuan negara secara utuh dan menyeluruh terhadap penyelesaian berbagai perkara masa silam lewat pengadilan yang layak dan adil.
Duka sejarah. Upaya pemulihan kerusakan yang disebabkan pengalaman kekerasan berkepanjangan dan kejahatan terhadap hak asasi manusia, baik bagi korban dan keluarganya maupun bagi masyarakat secara keseluruhan sampai hari ini masih menjadi tanda tanya besar bagi Indonesia. Penyelenggara negara yang abai dan sibuk mempertahankan kursi kekuasaan membuat agenda pemulihan rakyat semakin jauh tertinggal.
Padahal, saat ini yang sangat dibutuhkan adalah transformasi pemikiran dan tindakan di mana keadilan dan hukum menjadi sebuah praksis bagi seluruh unsur negara dalam rangka menuju masyarakat demokratis yang menghormati martabat manusia, sehingga kekejaman seperti yang sudah terjadi di masa silam, dan masih sering terjadi saat ini, tidak terulang lagi saat ini dan di masa mendatang.
Bahwa politik amnesia terus dijalankan untuk menutupi kejahatan yang sudah dilakukan oleh penguasa. Dalam “The Book of Laughing and Forgetting”, Milan Kundera menyatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa menjadi sangat relevan. Kekuasaan akan selalu berusaha membuat kita melupakan apa yang telah terjadi sehingga mereka tetap berkuasa. Sekuat apapun usaha tersebut, mereka yang menjadi korban dan keluarganya tidak akan pernah melupakan peristiwa tersebut. Mereka akan terus membawanya dalam kehidupan mereka. Padahal yang mereka butuhkan hanyalah pengakuan dan keadilan! Setelah itu, negara harus menjamin bahwa apa yang mereka alami di masa lalu dapat dicegah di masa yang akan datang.
Ingatan sudah coba dihapus dengan berbagai cara. Janji-janji politik menebar senyum kampanye setiap saat. Penguasa berganti topeng seperti domba, namun kelakuannya tetap serigala dan mencabik-cabik korbannya yakni rakyat. Karena itu, melawan kekuasaan yang tirani harus dibangun dengan membangun memori-memori kolektif di tengah masyarakat. Ceritakanlah kepada sahabat, kerabat atau orang yang berada di sekelilingmu tentang peristiwa tersebut. Memori koletif tersebut akan menjadi hantu bagi pemerintah yang berkuasa bahwa mereka masih punya pekerjaan yang belum terselesaikan.
Coba kita ulangi lagi. Menderaskan kelupaan itu dengan segala takut yang sudah mendarahdaging. Produk hukum yang sudah baik bisa jadi tidak jalan bila tidak ditegakkan secara konsisten dan sekedar menjadi macan kertas yang dapat disobek kekuatan-kekuatan dominan mana pun. Karena itu, peran semua ‘unsur negara’ dalam mendorong proses penegakan hukum harus terus didorong dan dikerjakan secara adil. Supremasi hukum adalah salah satu syarat dalam berdemokrasi dan syarat bagi majunya peradaban suatu negara.
Bahwa, penyelenggaraan negara yang berlangsung saat ini perlu untuk terus dibenahi, menyusul begitu banyak kasus yang dipetieskan oleh sistem yang tak hendak bersua dengan realita, yang mana, kesalahan masa lalu harus berhadap-hadapan (vis-à-vis) konsekuensi hukum. Ingatan boleh saja lupa, secepat proses lupa dalam benak, namun ia mengeram dalam pemikiran generasi yang sementara tumbuh.
Jika upaya pemulihan tak segera dikerjakan, maka, lupa akan tumbuh sebagai dendam masa silam yang tak terbayarkan di setiap jejak zaman, karena apa yang sudah ditabur pasti akan dituai, entah itu baik, entah itu buruk. Sebuah siklus yang tak terbantahkan dan akan terus menderas seiring waktu yang semakin kasib. Maka, lawanlah lupa, terus umbar hingga keadilan menjadi bagian semua orang.