Mereka yang Dilumpuhkan

on 14 Oktober 2013

Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa



Badan kurusnya terbujur di sebuah gubuk reyot ditengah hutan rimba, Bagelen Barat. Ia sedang berjuang melawan malaria tropika parah yang menghantam tubuhnya. Bukan hanya malaria yg turut merontokkan perjuanganannya selama ini. Tapi juga tertangkapnya Kiyai Maja, dan menyerahnya sang panglima Sentot Ali Basah. Saat itu, di sampingnya hanya ada dua orang punakawannya. Yang lain, tinggal sedikit dan tercerai berai.

Akhirnya surat itu datang juga. Tawaran berunding. Ia -Pangeran Diponegoro- menerima tawaran itu. Hatinya sudah tak sekukuh keyakinannya dahulu akan peperangan ini. Bukan main senang Jenderal De Kock. Ada juga kemungkinan peperangan ini akan berakhir dengan perundingan. Namun apa lacur, datang surat dari Negeri Belanda. Raja Willem I sendiri yang menitahkannya. Di bawa langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia yang anyar, Johannes Van Den Bosch.

“Jangan melakukan perundingan apa pun dengan dia…hanya dengan syarat pemenjaraan seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apa pun juga (yang dapat diterima).[1]

Sang Pangeran Jawa paham peperangan tak sedahsyat dulu. Perang Jawa memang melelahkan bagi kedua belah pihak. Diperkirakan 200.000 nyawa orang Jawa melayang. 15.000 tewas dari pihak Belanda. Seperempat lahan pertanian di Jawa rusak. Pemerintah Kolonial menanggung beban tak terperikan, 20 Juta gulden menguras kantong mereka. Keuangan mereka jebol. Ditambah lagi api perlawanan juga berkobar turut di Sumatera Barat. Atas luapan jiwa Islam pula. Perundingan memang menjadi jalan yang memungkinkan bagi kedua pihak. Sayang, titah Raja Willem I itu datang terlambat, De Kock terlanjur menawarkan perundingan kepada Pangeran Diponegoro. De Kock dalam posisi sulit.

Pangeran datang bersama 800 orang pengikut yang menggabungkan diri selama perjalanan ke Magelang. Namun mereka bukanlah pengikut yang siap bertarung mati-matian. Sejatinya perjalanan itu adalah perjalanan bebasnya yang terakhir. De Kock bukannya tanpa tekanan. Ia melukiskan perasaannya yang sudah terlanjur mengajak berunding, namun dilarang oleh Raja Willem I.

“Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk) karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik.”[2]

Setelah menunggu hingga berakhirnya bulan puasa, hari penentuan telah tiba. 28 maret 1830. Awalnya pertemuan begitu hangat. Kemudian keadaan mulai menemui kebuntuan. Pangeran tidak mengharapkan untuk menyelesaikan pembicaraan apa pun hari itu. Tetapi, ketika tahu ia tidak boleh pergi, Pangeran begitu marah. Apa yang dijanjikan; jika tidak ada kesepakatan, seharusnya Pangeran Diponegoro boleh pergi. De Kock tahu, hal itu tidak mungkin. Titah Raja Willem I tak mungkin ditampik. Lagipula, Ia ingin perang ini segera berakhir. Pangeran Diponegoro kemudian dikepung. Tapi tak ada perlawanan. Hari itu Sang Pangeran takluk dibawah kuasa De Kock.

Saat itulah kisah heroik sang pangeran sampai pada lembaran yang terakhir. Ia dilumpuhkan dengan penipuan. Apakah pangeran tahu bahwa ia akan diingkari? Mungkin saja. Yang pasti sejak beberapa bulan sebelumnya, ia pernah berkata kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia.[3]

Lembaran pemimpin perang ini berganti menjadi lembaran hidup seorang tahanan yang diasingkan. Dari Batavia ia dibawa ke Manado. Setelah tiga tahun di Manado,ia diasingkan ke Makassar. Di dalam Benteng Rotterdam. Ditemani istrinya, Raden Ayu Retnoningsih, di sana ia menjalani hari-hari hingga ajal menjemputnya. Menjelang Revolusi Perancis, 1848, sebuah Koran Perancis memuat kehidupan Sang pangeran dipengasingan.

“Dikurung di antara empat dinding tembok suatu benteng kecil, terpisah dari keluarganya, diawasi dengan ketat, tak diizinkan menulis surat baik kepada Gubernur-Jenderal, maupun kepada orang lain, diperlakukan selama delapan belas tahun terakhir ini dengan cara-cara yang keras dan kejam yang tidak layak dilakukan oleh negeri ini.”

Dalam pengasingannya, ia merindukan sosok ibunya, Raden Ayu Mangkorowati untuk menemaninya. Permintaannya agar sang Ibu didatangkan ke Makassar tidak pernah dipenuhi. Dalam rasa rindu yang begitu dalam kepada ibunya, bilamana ada kapal uap memasuki Bandar Makassar, dirinya akan menaiki tangga ke lantai teratas untuk menatap lepas ke pelabuhan. Guna melihat apakah sang ibu telah tiba. Berharap kapal-kapal tersebut akan membawa ibundanya. Sampai akhir hayatnya, harapan itu tak pernah tercapai. Sang Pangilma perang itu pun wafat sebagai orang yang terasing dari bangsanya sendiri dalam kesepian.

Sungguh, padamnya perang Jawa membuat Pemerintah kolonial Belanda, bertindak leluasa. Api peperangan di Sumatera Barat yang dikobarkan Haji-Haji “Paderi” beberapa tahun sebelumnya akhirnya semakin redup. Pasukan pemadam perlawanan para Tuanku itu kini didatangkan bertubi-tubi. Jawa bukan lagi beban yang memberatkan. Kaum Paderi yang telah terkoyak serta terpecah menunggu ajalnya.

Inilah pertahanan Paderi yang penghabisan. Setelah menyerahnya Tuanku Imam Bonjol, pasukan Belanda menggabungkan kekuatannya menggempur Dalu-dalu. 28 Desember 1838. Sudah 14 bulan lamanya mereka berusaha mengepung pertahanan Dalu-dalu. Kurban sudah bergelimpangan. Haji Muhammad Saleh, lebih dikenal dengan Tuanku Tambusai, adalah sisa dari tokoh Paderi yang diburu. Benteng paderi terakhir itu akhirnya benar-benar tumbang. Pengikutnya banyak yang gugur ditembaki. Sebagian lainnya mundur keluar gerbang. Menuju ke sungai. Perahu yang hendak dipakai melarikan diri tak mencukupi. Banyak dari mereka yang melompat ke sungai. Esoknya banyak yang mati mengambang di sungai itu. Entah ditembaki atau karena tenggelam tak pandai berenang. Mereka yang berhasil menyeberangi sungai mati dibunuh jua. Tapi Tuanku Tambusai tak jelas rimbanya. Menurut cerita yang beredar kemudian, ketika benteng runtuh, ia menyelamatkan diri ke sungai dengan menggunakan sampan. Ia kemudian dihujani peluru. Melihat bahaya mengancam ia terjun ke dalam air dan menyelam. Kemudian menghilang, hingga kini. Yang tersisa hanya sampannya. Di dalamnya ditemukan cincin stempelnya. Al Qur’an, dan kita-kitab yang dibawanya dari Mekkah. Dengan runtuhnya Dalu-dalu, berakhir sudah perlawanan kaum Paderi di sumatera.[4]

Api Islam yang menyala-nyala dalam dada ulama dan umat memang menjadi biang kerok kemapanan Belanda di Nusantara. Tahun 1873, api itu kembali berkobar hebat di ujung Sumatera. Perang yang akan berlangsung setidaknya hingga 40 tahun kemudian itu membuat keuangan pemerintah kolonial terkuras. Kematian Jenderal Kohler pada ekspedisi pertama mereka di Aceh, membuat mereka semakin mengganas. Pemerintah kolonial tanpa ampun menghabisi rakyat aceh yang melawan. . Perang ini dikenal sebagai perang pembantai wanita dan anak-anak. Tapi hebatnya, wanita Aceh pula yang dikenal tidak punya rasa takut terhadap tentara penjajah. Menurut penulis Belanda, Zentgraaf,

“Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden (wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan).” Di lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, “en dat de

vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en doodsverachting,” yang dalam terjemahan bebasnya berarti wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan berani mati.[5]

Salah satu wanita yang kelak akan dikenang seperti itu, adalah istri seorang pria keturunan bangsawan, bernama Cut Muhammad. Sang suami yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati oleh penjajah, berpesan pada istrinya, yang sedang menggendong anak mereka, Teuku Raja Sabi.

“Tidak perlu bersedih hati, Cut.”

Allah Maha Adil dan Bijaksana. Apa yang akan saya alami adalah rangkaian dari perjuangan. Bukankah sama saja artinya bila saya jatuh terkapar di medan pertempuran atau mati ditembak?  Kedua-duanya adalah dengan peluru musuh.”

“…”lanjutkan perjuangan bersama-sama rekan seperjuangan kita.”

“…setelah aku menjalani hukuman nanti dan idahmu telah selesai, kawinlah dengan Pang Nanggroê.”[6]

Pesan seorang suami yang ditaati istrinya beberapa bulan kemudian. Menikahlah Pang Nanggroê, dengan wanita tadi. Wanita itu dikenal dengan nama Cut Meutia. Sedangkan Pang Naggroê adalah panglima dari suaminya yang terdahulu.

Enam tahun lamanya Cut meutia dan suaminya, Pang Naggroê, bergeriliya dalam rimba, terletak di daerah sungai Wojla dan sungai Meulaboh. Kecekatan pasukan dibawah pimpinan suami istri ini memaksa kolonial Belanda untuk menerjunkan pasukan Marechaussee (Mersose) yang dikenal kejam. Ironisnya gagasan terciptanya pasukan ini atas ide seorang bernama Mohammad Syarief. Seorang Commis di kantor Gubernur Aceh, di Kutaraja.[7]

Pada 24 September 1910, Cut Meutia kembali menjanda, setelah suaminya Pang Nanggroê syahid diterjang peluru. Cut Meutia kemudian mengambil alih komando dalam pasukannya. Sementara Kolone Macan dari pasukan mersose terus memburu Cut Meutia. Sebulan kemudian, 25 Oktober 1910, Kolone Macan dipimpin Sersan WJ Mosselman menyerbu Gunong Lipeh. Cut Meutia dan pasukannya terkepung. Dua kali Sersan Mosselman, meminta Cut Meutia- yang terkepung sangkur dan senapan-untuk menyerah.Namun terjangan kelewang menjadi jawaban dari Cut Meutia. Tiga senapan menyalak mengenai kepala dan badannya. Cut Meutia tersungkur. Syahid. Menyusul suaminya. Memenuhi citanya, yang biasa ia ia dendangkan untuk anaknya, Teuku Raja Sabi.

“Jak Ion timang preuen,

ureueng jameuen bhe lagoina,

Bek hai aneuek tagidong reunyeuen,

bila jameuen tuntut le gâta.”

(Mari kutimang, kasih

Dengan alunan nyanyian merdu

Janganlah sayang kembali pulang

Jangan kauinjak tangga rumahmu

Sebelum dendam sempat berbalas.)[8]

Bukan satu-dua kisah wanita Aceh yang menjanda, kemudian bergeriliya, bahkan hingga syahid menyusul suami mereka. Adalah Tjut Nyak Dhien yang turut meneruskan perjuangan suaminya, Teuku Umar. Pihak Kolonial Belanda tak puas hanya dengan Teuku Umar. Tjut Nyak Dhien juga disasar. Pada 1904, di medan Aceh Barat yang berat, Kapten Campioni mengejar beliau. Kapten Campioni tewas diserbu 300 pejuang Aceh. Baru setahun kemudian Tjut Nyak Dhien menutup lembaran geriliyanya. 4 November 1905, Letnan Van Vuuren, berhasil menyergapnya. Dalam kondisi delapan hari tidak makan nasi, hidup hanya memakan pisang bakar, ia terserang penyakit yang membutakan matanya. Adalah Pang Laot Ali, pejuangnya sendiri yang memberitahukan persembunyiannya. Pang Laot tidak tega melihat kondisi pemimpinnya yang sudah begitu menderita. Ketika Tjut Nyak Dhien tahu ia telah dikhianati Pang Laot, ia begitu murka, hingga mencabut rencongnya dan hendak menikam Pang Laot. Namun usahanya tidak berhasil.

Kemajuan teknologi berhasil mengabadikan Tjut Nyak Dhien yang telah tertangkap. Kamera berhasil mengabadikan wajahnya yang bersedih saat ia ditawan. Bersama keponakannya, T. Nana, 11 Desember 1906, wanita perkasa itu dibuang ke Sumedang, karena dianggap membahayakan keamanan. Dua tahun kemudian, 6 November 1908 ia wafat, jauh dari tanah yang dicintainya.[9]

Selepas Perang Jawa yang menghancurkan keuangan pemerintah Kolonial, sistem Tanam Paksa diberlakukan. Mereka berhasil menguras tanah air, hingga diperkirakan menangguk keuntungan 832 juta gulden atau setara dengan 600 triliun rupiah saat ini.[10] Namun angin politik etis kemudian  berhembus. Dan pemerintah kolonial semakin memahami kondisi umat Islam di Nusantara. Untuk tetap menancapkan kukunya, haluan kebijakan berganti menjadi halus. Dipakai jasa orientalis semacam Christian Snouck Hugronje. Ia membawa pemerintah kolonial untuk menceraikan Islam dari politik, dan membiarkannya sibuk dengan urusan ibadah dan kemasyarakatan semata.[11] Putra-putra ningrat dibaratkan. Warisan adat diperkuat. Islam diceraikan dari jejaknya. Huruf (Arab) Jawi disingkirkan, huruf latin ditegakkan. Hasilnya terasa, perlawanan tak lagi menghebat. beberapa pemberontakan memang muncul. Namun tak ada yang sedahsyat Perang Jawa, Paderi atau Aceh. Umat Islam mulai menggerakkan dirinya dengan pendidikan dan organisasi. Sebut saja Syarekat Islam, Persis, Muhammadiyah, NU dan lainnya. Bukan berarti tak ada tekanan dari pemerintah kolonial. Berbagai aturan tetap mengancam, seperti ordonansi sekolah liar yang menggusur lembaga pendidikan dan pers delicht yang memberangus kebebasan bersuara.

Jepang kemudian datang. Belanda terjengkang. Awalnya Jepang bersikap represif kepada ulama. KH Hasyim Asyari yang sudah sepuh ditangkap. Namun protes datang bergelombang. Kiyai-kiyai dan santri ingin ditahan bersama Hadlratus Syaikh. Atas lobi-lobi, akhirnya, Hadlratus Syaikh dibebaskan. Jepang mulai merangkul ulama untuk menjaga wibawa. Kebijakan ini membuat para ulama terjepit. Antara tajamnya samurai dan uluran tangan kotor Jepang. Penindasan, romusha, hingga penculikan gadis-gadis untuk pemuas nafsu Jepang, membuat ulama jijik dan enggan.[12] Namun keadaan memaksa mereka untuk mengambil jalan siasat, bekerja sama dengan Jepang. Menipu mereka dan menggalang kekuatan. Salah satu yang terpaksa ikut dalam siasat ini adalah KH Mas Mansyur. Pemimpin besar Muhammadiyah. Diangkat menjadi pemimpin PUTERA bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Ia hidup dalam tekanan berat. Bermanis-manis di depan Jepang, hati remuk tatkala melihat rakyat ditindas. Namun akhirnya Jepang hengkang, Indonesia bersorak girang. Merayakan kemerdekaan. Tetapi untuk diri KH Mas Mansyur, inilah awal yang akan menutup lembaran hidupnya. KH Mas Mansyur perlahan pulih dari tekanan. Tak lama berselang, Belanda berseragam NICA datang. Lepas dari dunia politik , Ia kembali mengajar. Kadang berkhotbah dalam sholat Jumat. Mengecam sebagian orang yang berkhianat kepada republik. Ironisnya ia sendiri kemudian menjadi korban para pengkhianat ini.

Saat pasukan sekutu bersama NICA semakin leluasa memasuki Ampel. Puluhan pemuda dan orang tua ditahan. KH Mas Masnyur tak luput dari fitnah ini. Ia dituduh menjadi kolaborator Jepang, karena pernah bekerja sama dan menduduki pucuk pimpinan PUTERA. Dalam keadaan puasa sunnah, dia ditahan dan diikat. Rumahnya di Kampung Baru Nur Anwar digeledah. Tulisan-tulisan penting beliau ikut diangkut. Beliau kemudian diancam dengan hukuman berat. Kecuali jika mau bersedia berpidato di radio AMACAB milik sekutu. Untuk menghasut rakyat menghentikan perlawanan. Tawaran ini ditampiknya.
Ia kemudian dibebaskan dalam keadaan sakit. Namun ini hanya sementara. Tak lama ia ditangkap kembali. Karena terlalu lemah ia dilarikan ke rumah sakit swasta di Darmo. Tanpa ditemani siapa pun, termasuk anak, istri atau kerabatnya, Di situ berbaring seorang diri dalam kesunyian. Hingga malaikat menceraikan ruh dari badannya. Begitu sunyi dan terasing, bahkan hingga saat ia menghembuskan nafas terakhirnya pun, tak ada yang mengetahui dengan pasti waktu wafatnya. Tanggal kematiannya tercatat dalam beragam versi. Corong radio AMACAB melalui Djojobojo memberitakan tanggal 1 April 1946. Ada pula yang mengatakan 24 atau 25 April. Jenazahnya dimakamkan di kuburan Gipo, dekat Masjid Ampel. [13]

Roda sejarah terus berputar. Zaman terus berganti, dari masa revolusi kemerdekaan hingga Demokrasi terpimpin. Mungkin Inilah masa yang memakan korban ulama serta tokoh Islam terbanyak. Khususnya tokoh-tokoh Masyumi yang dilumpuhkan dengan keji oleh rezim Soekarno, yang didukung oleh pihak komunis. Terjangan fitnah bertebaran dimana-mana. Memaksa siapa pun untuk ikut menari dalam tabuhan Sang Pemimpin Besar Revolusi. Namun tidak bagi Masyumi. Mereka terus mengkritik kebijakan Soekarno. Menolak agama disandingkan dengan komunisme. Menampik laku sewenang-wenang penguasa. Soekarno mulai kehabisan akal. Tangan besi diayunkan. Tokoh-tokoh Masyumi pun bertumbangan. Akhirnya 13 September 1960, Masyumi pun memilih menghabisi dirinya sendiri, ketimbang dihabisi. Namun tragedi baru saja dimulai. Satu persatu anggotanya diterjang fitnah. Ditangkap. Dilumpuhkan.[14]

27 Januari 1963, siang itu sungguh mengejutkan. Empat orang datang mengetuk pintu. Sang tuan rumah dengan ramah membuka pintu dan menyambut tamunya. Tak disangka, para tamu membawa surat sakti. Surat penangkapan atas sebuah tuduhan. Sang tuan rumah, Buya Hamka, tersentak. Ia kemudian dibawa pergi.

“Dalam keadaan tak tahu apa kesalahan saya dalam tengah hari letih berpuasa, saya dijemput dan dicabut dengan segenap kekerasan dari ketentraman saya dengan anak istri, disisihkan dari masyarakat dan dimasukkan ke dalam tahanan,” tutur Buya hamka.[15]

Tuduhan pada Buya Hamka begitu hebat. Ia dituduh hendak membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri. Dituduh pula ia pernah menghasut mahasiswa untuk meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureu’eh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara. Mimpi buruk untuk Buya Hamka baru saja bergulir. Ia difitnah. Untuk melanggengkan penangkapan atas dirinya, segala macam usaha dipakai, memaksa ia mengaku.

“Dengan tekanan batin yang sangat menyesak, dipasang pertanyaan-pertanyaan jebakan. Kadang dengan ancaman, kadang dengan gertak, kadang-kadang tidak membiarkan istirahat agak sejenak, kita yang ditanya disuruh mengakui hal-hal yang telah disusun menjadi tuduhan.”[16]

Dan setelah “selesai” segala pemeriksaan, teruslah ditahan. Dua setengah bulan dihujani perlakuan semacam ini, membuat Buya Hamka ambruk juga. Ia akhirnya terpaksa menandatangani tuduhan kepada dirinya. Pengakuan yang dipaksakan itu dilakukan Buya Hamka, karena ia mengira kelak di pengadilan, akan bisa melawan. Membeberkan segala kebusukan. Nyatanya tak akan pernah ada pengadilan atasnya.

Situasi semakin suram dengan diterbitkannya sebuah keputusan dari Presiden Soekarno, Pen. Pres No. 11/1963. Tiga hari setelah setelah Buya Hamka ditahan. Sebuah keputusan Presiden yang menceraikan manusia dari fitrahnya. Pen Pres menjadi pisau tajam sebuah tuduhan subversif, yang berhak menahan siapa pun. Setengahnya disiksa dengan kejam, sampai jarak antara mereka dengan maut hanya beberapa langkah lagi, bahkan ada turut berjumpa dengan maut.

Salah satunya yang hampir berjabat dengan maut adalah KH Ghazali Sahlan. Seorang Masyumi jua.

KH Ghazali Sahlan ditangkap di rumahnya selepas sholat subuh, 7 Januari 1964. Salah satu tuduhannya adalah membentuk organisasi gelap. Awalnya pemeriksaan berlangsung sopan dan pantas. Tiga hari kemudian dunia seakan runtuh bagi KH Ghazali Sahlan. Ia mulai ditekan untuk mengakui segala tuduhan kepadanya. Kepolisian yang banyak dikuasai komunis menjadi-jadi. Suatu waktu, ditengah malam buta, Inspektur Polisi Solihun, memerintahkan Ghazali Sahlan untuk melepas pakaiannya. Ghazali hanya mengenakan pakaian dalam saja. Pukukl 1 malam ia mulai dipukuli, hingga berdarah-darah. Pukul 3 pagi ia ditanya,

“Jikalau saudara mati terbunuh dalam pemeriksaan ini, apakah pesan saudara?” Ia menjawab, “Saya hanya pesan agar jenazah saya dikirimkan ke Jakarta atas biaya keluarga saya.”

Pukul 4 pagi, Ghazali Sahlan makan sahur. Tak lama ia kembali ditelanjangi. Dipaksa melalkukan scotch Jump. Terus menerus scotch Jump hingga terjatuh-jatuh. Ditengah-tengah jatuh bangun, ia ditodong pistol. Kembali ditanya pesan terakhirnya. Ia menjawab hal yang sama, dengan tambahan, “Sesudah saya mengucapkan kalimat, La ilaaha’illalah, barulah tembak.”

Nyatanya tim pemeriksa menolak untuk menembak, lebih senang untuk menyiksanya. Izin Ghazali Sahlan untuk sholat pun ditampik. Pukul 9 pagi Ghazali rubuh. Ia terkapar. Namun pukul 11 ia kembali disiksa. Hanya kali ini lebih keji. Ia disetrum. Berkali-kali KH Ghazali Sahlan meneriakkan kalimat Tauhid. Berharap syahid menjemput. Ia kerap dipaksa untuk mengaku, namun paksaan itu ditolaknya. Berkali-kali ia disetrum hingga tangannya mengeluarkan darah. Namun itu tak menghentikan siksaan. Lipatan tangan, kaki, pinggang hingga kuduk, dilekatkan dengan aliran listrik. Siksaan berlanjut esok harinya. Semakin menggila. Dalam keadaan telanjang bulat alat vitalnya disetrum. Lalu mulutnya. Berulang-ulang, padahal ia sedang berpuasa. Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. 10 hari KH Ghazali Sahlan terkapar tanpa daya.Ternyata penyiksaan kepada KH Gahzali Sahlan dan Buya Hamka hanya jebakan untuk menangkap Kasman Singodimedjo, salah satu tokoh Masyumi yang paling lantang. Pengakuan mereka dibutuhkan untuk membuat Kasman dijebloskan ke dalam tahanan.[17]

Namun Kasman bukanlah orang yang awam dengan hukum. Kasman tak mudah untuk ditaklukkan. Setiap hari selama 24 jam Kasman terus diperiksa. Bergiliran oleh 6 tim. Dalam keadaan puasa Ramadhan ia kerap ditekan, dipojokkan dan diintimidasi, Empat hari di periksa, akhrinya Kasman menantang untuk dikonfrontir. Pertama yang dihadirkan adalah Letkol Nasuhi. Ketika dikonfrontir,. Letkol Nasuhi hanya berbicara pelan. Hingga Kasman marah, dan berteriak,

“Yang keras suaramu, supaya kedengeran!”  

“Saya terpaksa,” sahut Nasuhi.

Tim Pemeriksa kemudian gaduh. Kasman kembali menantang untuk dikonfrontir dengan siapa pun.

“Pertama, saya siap dikonfrontir dengan semua pengakuan siapa pun, Termasuk H. Ghazali Sahlan dan Hamka. Silakan!,” tegas Kasman.

“Kedua, maaf, saya dapat kesan bahwa oleh team pemeriksa, terutama dari team-team pemeriksa terdahulu telah dikerjakan penggiringan, paksaan-paksaan, siksaan-siksaan, dan lain sebagainya, sehingga para tertuduh yang bersangkutan itu terpaksa mengaku demi keselamatan jiwa mereka.”

Beberapa saat kemudian, Kasman berdiri. Dia buang kursinya jatuh ke belakang, dan dengan tangan ke atas dia berteriak sekeras-kerasnya dengan melotot,

“Percuma pemeriksaan semacam ini. Percuma! Sekarang begini saja. Silakan tuan-tuan cabut pistolnya dan tembaklah saya. Tembak! Tembaak! Tembaaak!”[18]

Ketua tim pemeriksa kemudian memutuskan untuk memberikan waktu istirahat bagi Kasman. Namun keadaan tak berubah. Beragam cara tak bisa membuat Kasman bersalah. Barulah 16 hari kemudian Kasman dibebaskan.

Setiap penindasan yang terjadi bukan hanya melumpuhkan seorang pejuang, tapi juga meruntuhkan tatanan keluarganya. Menceraikan dari anak dan istrinya. Mengasingkan dari masyarakatnya. Mereka tidak saja kehilangan kebebasan tapi juga kehilangan kesempatan untuk menafkahi keluarga. Istri mereka tiba-tiba dipaksa memutar otak menjadi tulang punggung keluarga. Menjual apa saja yang berharga. Seperti apa yang dialami keluarga Syafrudin Prawiranegara yang kehilangan rumah mereka. Penindasan ini bahkan juga memasung hak-hak mereka sebagai ayah. Mohammad Natsir tak secuil pun diberikan kesempatan untuk menikahkan putrinya. Ia hanya bisa berdoa di tahanan ketika putri pertamanya menikah. Sungguh keadaan yang menekan jiwa.

Yunan Nasution, mantan sekjen Masyumi yang turut ditahan, berkisah, dinding tahanan menjadi saksi coretan-coretan  mereka. Ayat-ayat Quran seperti, “Umat-umat yang dahulu telah silih berganti mengalami bangkit dan jatuh,” atau “Tuhan akan mempergilirkan hari-hari kehidupan manusia dengan kalah dan menang.” Kelak, janji Allah yang ditorehkan pada dinding-dinding tahanan itu terbukti. Tatkala mereka dibebaskan, pihak-pihak dari komunislah yang kemudian berganti mengisi tempat mereka. [19]

Peristiwa membungkam dan melumpuhkan sesungguhnya tidak berhenti sampai di sini saja. Masih banyak dan kerap terjadi peristiwa dan pejuang lain yang di bungkam dan dilumpuhkan, bahkan hingga beberapa langkah saja dari maut. Atau malah menjemput syahid. Bahkan hingga kini. Para penguasa lalim kerap mengikuti langkah yang sama, namun tak akan pernah bisa menumpas setiap gema kebenaran. Mereka hanya bisa melumpuhkan raga, namun tidak jiwanya. Menceraikan nyawa dari badannya, tapi tidak mematikan semangatnya.

Para pejuang itu adalah pejuang yang membumi, namun dengan hati mengingat ke langit. Menolak hidup berbalut kemewahan, dan memimpin dengan segala keberanian. Dan sesunggunya, api perjuangan itu tak akan pernah padam, dan selamanya berkobar-kobar. Sejarah mencatat, sebuah pembungkaman hanya akan memicu rentetan perlawanan yang lain. Satu penindasan akan memacu gema kebangkitan lain. Semua itu karena api itu di bakar oleh keinginan menegakkan kalimat Allah dalam bumi nusantara ini.

Ketika Kapitalisme Merambah Hingga Ke Liang Lahat

on 13 Oktober 2013
Di dalam Bhagavad Gita dikatakan: neraka itu punya tiga pintu: nafsu, kemarahan, dan keserakahan. Lantas, apa jadinya bila keserakahan itu dipertontonkan hingga ke liang lahat?




 Di Jakarta, bukan hanya kehidupan yang kejam–sampai-sampai ada ungkapan: “kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota”–tetapi kematian pun tak kalah pelitnya. Sekarang warga miskin Jakarta yang meninggal sulit mendapatkan liang lahat. Sekarang berlaku prinsip: Tak ada uang, tak ada liang lahat!

 Memang, sejak beberapa tahun terakhir, urusan pemakaman di Jakarta dirasuki virus bisnis. Lantaran itu, makam-makam di Jakarta pun mengenal klas-klas. Biasanya ditentukan posisi/letak makam dan jenis fasilitas yang disediakan. Ironisnya, itu terjadi juga di Tempat Pemakaman Umum (TPU).

 Sebut saja TPU di Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Berdasarkan penelusuran Merdeka.com, kuburan di TPU ini dibagi menjadi enam klas. Yang paling mahal adalah Klas A-1 (warga menyebutnya ‘Klas Eksekutif’). Tarifnya bisa mencapai Rp 3 juta. Posisi kuburan A-1 berada di dekat jalan dan pintu gerbang TPU.

Kemudian ada kelas AA1, yang lokasi kuburannya agak ke dalam. Harga sewanya antara Rp 2,5 sampai Rp 2,8 juta. Lalu, ada kelas B1, yang harganya Rp 2 juta. Sedangkan  kelas BB1 harga sewanya berkisar Rp 1,5 juta. Sementara kelas C1 dipatok harga antara Rp 1 sampai Rp 1,2 juta.

 Yang paling murah adalah Klas CC1, yakni Rp 700 ribu, tetapi letaknya paling belakang atau hampir 1 km dari pintu gerbang. Biasanya, kondisinya agak kotor alias kurang terawat.

 Harga itu berlaku untuk sewa 3 tahun. Artinya, setelah masa sewa berakhir, anda harus membayar lagi. Jika pihak keluarga tidak memperpanjang sewa itu, maka makam itu akan disewakan ke orang lain. Tak heran, satu kuburan bisa ada lima mayat yang saling menumpuk. Tragis!

 Sebetulnya, jika mengacu ke peraturan, biaya pemakaman di Jakarta tidak melebihi Rp 100 ribu. Menurut Perda Nomor 1 tahun 2006 tentang Retribusi Lahan, sewa lahan atau retribusi pemakaman paling murah Rp 40 ribu dan paling mahal Rp 100 ribu.
Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Chatarina Suryowati mengatakan, biaya pemakaman tergantung dengan lokasi blok. Untuk kelas 1 biayanya sebesar Rp 100.000, kelas 2 Rp 80.000, dan kelas 3 Rp 60.000. Sedangkan bagi warga miskin tidak dikenai biaya alias gratis.

 Namun, praktek di lapangan justru berbeda. Konon, yang membuat biaya pemakaman melambung tinggi adalah para calo. Biasanya, para calon ini menawarkan jasa, seperti pengurusan surat-surat ke pihak pengelola, juga ditambah sejumlah fasilitas: plakat (nisan), tenda, kursi, dan rumput. Maklum, pengelola TPU hanya bertanggung-jawab dalam urusan penggalian dan penutupan lubang.

 Selain itu, pemicu maraknya praktik bisnis permakaman ini adalah krisis lahan pemakaman di Jakarta. Lahan makam di Jakarta tersebar di 109 lokasi TPU, yakni Jakarta Pusat seluas 37,9477 ha dengan 4 TPU, Jakarta Selatan (153,9847 ha, 33 TPU), Jakarta Utara (61,3513 ha, 10 TPU), Jakarta Timur (169,0795 ha, 40 TPU), Jakarta Barat (149,2200 ha, 16 TPU), dan Kepulauan Seribu (4,4995 ha, 6 TPU).

Lahan siap pakai 65,0565 ha (63,37 persen), lahan yang sudah terpakai 355,4363 ha (61,70 persen), sisa 9,6202 ha (1,67 persen). Dengan demikian, Jakarta memang mengalami krisis lahan makam. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2010, kebutuhan makam ditargetkan 745,18 ha. Yang terealisasi hanya 576,0827 ha. Artinya, terjadi kekurangan sebesar 208,9173 ha.

 Sementara itu, jumlah penduduk Jakarta yang meninggal meningkat dari 80 orang per hari (1997) menjadi 120 orang per hari (2007). Artinya, pada tahun 2007, diperkirakan ada 43.800 orang yang meninggal. Ini perhitungan kasar saja. Jika setiap jenazah membutuhkan luas makam 1,5 x 2,5 meter = 3,75 meter persegi, Jakarta membutuhkan lahan makam 164.250 meter persegi (16,425 ha) per tahun. (Nirwono Joga, 2009).

Banyak makam-makam di Jakarta yang tergusur. Sebagian besar karena tuntutan bisnis. Bakrie, misalnya, menggusur sebanyak 3.500 kuburan di area seluas 10.646 meter persegi tanah makam di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo Casablanca, Jakarta, digusur untuk jalan tembus untuk jalan masuk Menara Epicentrum. Inilah nasib orang miskin di Jakarta: masih hidup digusur, sudah mati pun kena gusur!

Namun, nasib berbeda justru dinikmati oleh kaum kaya di Jakarta. Sementara jenazah orang miskin harus ditumpuk-tumpuk dalam satu lubang karena krisis lahan, kaum kaya Jakarta justru menikmati peristirahatan terakhirnya di pemakaman mewah nan megah.
Ini tidak terlepas dari maraknya bisnis pemakaman mewah. Salah satunya adalah San Diego Hills Memorial Park, yang terletak di Karawang, Jawa Barat. Pemakaman mewah ini merupakan bisnis milik Lippo Group. Pemakaman mewah ini tak ubahnya kawasan pemukiman elit. Ada kolam renang, lintasan lari, restoran Italia papan atas, helipad, lapangan golf, dan 8 hektare danau yang dilengkapi dengan perahu dayung.

Siska, salah seorang Marketing di San Diego Hills, menyampaikan kepada DetikTravel, bahwa biaya pemakaman di tempat ini paling murah Rp 24 juta dan paling mahal Rp 1,5 milyar. Sejumlah mantan pejabat dikuburkan di pemakaman elit ini, seperti mantan Menteri Kesehatan Endang Sri Rahayu Sedyaningsih, Wakil Menteri ESDM Widjajono Pratowidagdo, mantan Menteri Keuangan Frans Seda, mantan Wakil Ketua DPR/Politisi PAN Marwoto Mitrohardjono. Kabar yang beredar menyebutkan, harga makam Marwoto Mitrohardjono mencapai Rp 300 juta.
Kendati harganya mahal, banyak makam di San Diego Hills sudah dipesan alias dikapling. Hingga pertengahan tahun 2009, sebanyak 15 ribu makam sudah dikapling oleh orang-orang kaya (artis, pengusaha, politisi, desainer, dan lain-lain). Konon, mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sudah memesan makam di San Diego Hills.

Ternyata, sukses bisnis pemakaman San Diego Hills diikuti pula oleh kelompok bisnis lain. Salah satunya adalah Al Azhar Memorial Garden, yang dikelola oleh Yayasan Al Azhar. Dengan mengusung konsep Islami, pemakaman ini memasang banderol di kisaran Rp20 juta hingga Rp200 jutaan. Di depan pemakaman islami ini terpampang plan: “Pemakaman Syariah di Tengah Hijaunya Taman”. Ironis, atas nama agama, tempat peristirahatan terakhir manusia dibisniskan. Astagfirullah!

 Inilah ironi di negeri kita: sementara jenazah orang miskin ditumpuk-tumpuk dalam satu lubang, jenazah orang kaya justru menempati lahan lahan yang luas, sejuk, dan didukung fasilitas mewah. Sementara pemakaman orang miskin bisa digusur kapan saja, pemakaman elit kaum kaya terjaga dan terlindungi di atas bukit yang indah.

 Itulah jahatnya kapitalisme. Tidak hanya manusia hidup yang dijadikan perkakas untuk mengakumulasi keuntungan. Ternyata, manusia yang sudah menjadi bangkai pun masih dijadikan sarana menumpuk keuntungan. Inilah keserakahan yang tak mengenal batas.

Sumber Artikel:  Sigit Budiarto, Kontributor Berdikari Online

Ini Adalah Bukti Laksamana Cheng Ho Penemu Amerika, Bukan Columbus?

on 11 Oktober 2013

Ini yang tertulis dalam sejarah: pedagang asal Genoa, Italia, Christopher Columbus memimpin armada kapal menyeberangi Samudera Atlantik. Ia tiba di 'dunia baru' pada tanggal 12 Oktober 1492. 




'Dunia baru' itu yang kemudian disebut Benua Amerika. Meski hingga kematiannya, Columbus yakin benar, ia menemukan rute baru dan berhasil telah mendarat di Asia -- di tanah yang digambarkan Marco Polo.

Namun, sebuah salinan peta berusia 600 tahun yang ditemukan di sebuah toko buku loak mengancam status Columbus sebagai penemu Amerika. Juga menjadi kunci untuk membuktikan bahwa orang dari Negeri China yang pertama menemukan benua itu. 

Dokumen tersebut konon berasal dari suatu ketika di Abad ke-18, yang merupakan salinan peta 1418 yang dibuat Laksamana Cheng Ho, yang menunjukkan detil 'dunia baru' dalam beberapa sisi. 

Klaim bukti bahwa laksamana China memetakan Belahan Bumi Barat (Western Hemisphere) lebih dari 70 tahun sebelum Columbus, adalah salah satu klaim yang dimuat penulis Gavin Menzies dalam buku barunya, 'Who Discovered America?', yang diluncurkan jelang Hari Columbus tahun ini. 

"Kisah tradisional bahwa Columbus menemukan 'dunia baru' adalah fantasi belaka," kata dia seperti dimuat Daily Mail, 8 Oktober 2013. 

Ia bahkan yakin, Columbus memiliki salinan peta Cheng Ho saat mengarungi samudera menuju Amerika. 

Menzies juga mengatakan, armada megah kapal China yang dipimpin Cheng Ho berlayar di sekitar daratan Amerika Selatan, 100 tahun sebelum Ferdinand Megellan -- orang pertama yang berlayar dari Eropa ke Asia, orang Eropa pertama yang melayari Samudra Pasifik, dan orang pertama yang memimpin ekspedisi yang bertujuan mengelilingi bola dunia. 

Lebih jauh lagi, Menzies mengklaim, pemukim pertama Belahan Bumi Barat tidak berasal dari 'Jembatan Selat Bering', tapi pelaut China yang pertama melintasi Samudera Pasifik sekitar 40 ribu tahun lalu. 

Ia juga menulis, penanda DNA membuktikan Indian Amerika dan pribumi lainnya adalah keturunan para pemukim dari Asia. 

Klaim bahwa Cheng Ho menemukan Amerika, bukan kali ini saja diungkap Menzies. Ia pernah mempublikasikannya tahun 2002 lalu. Bedanya, di buku terbarunya, ia menyertakan salinan peta yang ditemukan seorang pengacara di Beijing, Liu Gang di buku loak -- yang ia klaim memperkuat teorinya. 

Ia bersikukuh, peta itu jelas-jelas menunjukkan sungai dan perairan di Amerika Utara, demikian juga dengan daratan Amerika Selatan. 

Sebelumnya, si penemu peta, Liu mendapatkan pengakuan dari balai lelang Christie's bahwa dokumennya kuno -- dari Abad ke-18, bukan palsu. 

Dari peta itu, Menzies juga berkonsultasi dengan tim sejarawan yang menganalisa tulisan yang tertera di sana. Lalu, ia menyimpulkan, peta itu aslinya dibuat pada masa Dinasti Ming -- periode pemerintahan di China yang berlangsung tahun 1368-1644. 

Salah satu wilayah dari peta, diyakini Menzies mengacu pada Peru. "Di sini orang-orang mempraktekkan agama Paracas. Di sini juga orang-orang mempraktekkan pengorbanan manusia," demikian ujar dia dalam bukunya. 

Menzies menambahkan, apalagi ada banyak istilah China yang digunakan di sejumlah kota dan wilayah di Peru. Dalam peta kuno Peru, misalnya, ada istilah 'Chawan' -- tanah yang disiapkan untuk disemaikan dan 'Chulin' yang artinya kayu atau hutan. 

Pemukim dari Asia 

Menzies tak diakui sebagai sejarawan dan bukan lulusan universitas ternama. Dia adalah bekas serdadu di kapal perang milik Angkatan Laut Inggris. Tapi, ia bukan amatiran. 

'Who Discovered America?' adalah buku keempatnya di mana ia berusaha menulis kembali sejarah dalam kaca mata Timur. 

Namun teori-teorinya yang 'pro-Asia' tidak diterima oleh komunitas akademik. Pada 2008, profesor sejarah University of London, Felipe Fernandez-Armesto mengatakan, buku Menzies sekelas buku kisah hidup Elvis Presley yang dijual di supermarket atau kisah hamster alien. 

Debut Menzies dimulai pada 2002 lalu dalam bukunya, '1421: The Year China Discovered the World' -- yang menyebut Laksamana Ceng Ho mencapai Eropa dan Afrika, juga melintasi Samudera Pasifik, ke Belahan Bumi Barat. 

Dia mengklaim Cheng Ho tak hanya menemukan dunia baru pada 1421, tapi meninggalkan koloni di sana. Armadanya juga berlayar di sekitar ujung Amerika Selatan - melalui Selat Megellan sekitar Teluk Meksiko dan sampai Mississippi . 

Sementara dalam buku barunya, Menzies fokus pada teori tentang orang Asia yang berhasil sampai ke Amerika Utara dan Selatan jauh sebelum Cheng Ho. "Setidaknya 40 ribu tahun lalu," tulis dia. Dari laut. 

Kebanyakan ilmuwan percaya bahwa manusia pertama menghuni Belahan Bumi Barat sekitar 13.000 sampai 16.500 tahun yang lalu. 

Teori universal di kalangan para akademisi adalah, manusia tiba di 'dunia baru' dengan menyeberangi 'Jembatan Selat Bering' -- lewat tanah menghubungkan antara Asia dan Amerika Utara. 

"Semakin saya berpikir tentang teori Bering Straight, makin terasa konyol," kata Menzies. Menzies mengatakan ide bahwa manusia mampu menyeberangi Samudra Pasifik di masa sekitar 40 ribu SM tak sedramatis kedengarannya. 

"Jika Anda masuk ke bak mandi plastik, arus juga akan membawa Anda ke sana," kata dia. "Kuncinya ada pada arus." Jadi, siapa penemu benua Amerika? 

Source: Liputan6.com

Catatan Harian Si Penjagal Tragedi Pembantaian di Batavia

on 9 Oktober 2013
Hari ini 9 Oktober 1740 - 9 Oktober 2013.  Sebuah buku yang berisi pandangan mata kebiadaban abad ke-18 di Batavia mengisahkan sejarah kelam yang semoga tak terulang lagi.

“Saya ambil alu penumbuk padi seukuran lengan. Lalu, tetangga yang sering mengajak saya makan malam itu saya pukul hingga tewas,” ungkap sang pelaku. Dia memasuki rumah si tetangga Cina tadi, mengambil pistol dan banyak peluru. Kemudian dia keluar dan membunuh dengan menembak membabi buta.

Si pelaku tampaknya kesetanan, “Saya merasa seperti tukang jagal sehingga tak bisa membedakan membunuh seorang Cina atau seekor anjing.” 

Itulah secuplik kisah dari buku Historical Sites of Jakarta karya Adolf Heuken, seorang pastor asal Jerman yang telah menjadi warga negara Indonesia. Dia mengisahkan kembali sebuah buku milik seseorang yang terlibat dalam pembantaian dan perampokan warga Cina di Batavia 9 Oktober 1740. Buku Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751 itu ditulis oleh si pelakunya sendiri, G.Bernhard Schwartzen.


Cuplikan adegan pembantaian warga Cina di Batavia 9 Oktober 1740 dalam litografi, terbit pada 1747. Adegan di atas berlatar permukiman Cina yang diperkirakan di dalam tembok kota sekitar Jalan Tiang Bendera, Jakarta (Exhibition of Antiquarian Maps and Prints of Indonesia)

Ironisnya, Schwartzen juga terlibat membunuh orang Cina yang dia kenal baik dan kerap mengundangnya makan malam. Menurutnya, baru empat hari kemudian pembantaian berhenti. Tak tersisa lagi orang Cina di dalam tembok kota.

Buku itu melukiskan laporan pandangan mata ketika huru-hara itu terjadi. Isinya sangat mengerikan. Bagaimana tidak, dia mengisahkan ketika para pelaut membongkar paksa pintu milik orang-orang Cina di dalam tembok kota Batavia. Pada jam sembilan, Gubernur-Jenderal memanggil para pegawai VOC untuk memenggal kepala orang Cina. Pembantaian pun terlaksana.

“Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat,” tulisnya. “Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”

Pada pukul satu siang, Kota Batavia terbakar. Orang-orang Cina itu membakar rumah mereka sendiri daripada jatuh ke tangan para perampok. Bahkan, beberapa orang bunuh diri dengan menggantung di kayu yang melintang di atap rumah. Para penjagal dan perampok itu juga memasuki rumah sakit warga Cina dan membunuh pasien-pasiennya. Tak ketinggalan dua ratus orang Cina yang tengah mendekam di tahanan Balai Kota, mereka ditikam sampai tewas.

Meskipun peristiwa biadab itu telah berlalu 272 tahun yang lalu, kita berharap kebijakan yang bermuatan prasangka terhadap suatu etnis atau perlakuan yang berbeda karena ras, suku, atau agama sudah sepantasnya diakhiri segera.

Pengawal Bung Karno: Yang Setia dan yang Berkhianat

on 4 Oktober 2013

Saat peristiwa G30S 1965 terjadi, Maulwi Saelan menjabat sebagai Wakil Komandan Cakrabirawa. Dialah orang yang terus mendampingi Bung Karno selama dua hari terkelam sejarah politik Indonesia mulai 30 September hingga 1 oktober 1965.

Sebagai satu-satunya orang dekat Bung Karno yang masih hidup, kesaksian Saelan amat penting dalam rangka membersihkan tuduhan dan fitnah yang dialamatkan kepada Bung Karno dalam peristiwa G30S. 

“Bung Karno tidak tahu sama sekali penculikan Jendral pada 1 Oktober 1965 subuh,” kata Saelan saat menerima ROL beberapa waktu lalu. 

Tuduhan keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa G30S bermula dari kesaksian salah seorang ajudan presiden bernama Letnan Kolonel (KKo) Bambang Setijono Widjanarko. Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) kepada Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP), Azwier Nawie dan Letnan Kolonel (CPM) Soegiardjo dari tim pemeriksa pusat (teperpu), Bambang mengatakan Bung Karno telah mengetahui rencana penculikan dan pembunuhan yang akan dilakukan Letkol Untung Samsoeri terhadap para Jendral Angkatan Darat pada malam 1 Oktober dini hari. 

Bambang mengatakan, pada malam 30 September 1965 --beberapa jam sebelum penculikan para Jendral dilakukan, Bung Karno menghadiri acara Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora Senayan Jakarta. Saat sedang menunggu waktu berpidato, seorang anggota Cakrabirawa dari kepolisian Adjun Inspektur Polisi (AIP) I Sogol Djauhari Abdul Muchid menghadap Bung Karno. 

Sogol membawa sepucuk surat dari Komandan Batalion I Cakrabirawa Letkol Untung Samsoeri yang berisi kesiapan pasukan melakukan penculikan. Setelah menerima surat itu Bung Karno beranjak ke toilet untuk membaca surat dari Untung. “… isinya pemberitahuan dari Untung kepada presiden tentang akan dimulainya penindakan terhadap perwira tinggi angkatan darat yang tidak disenangi Bung Karno,” kata Bambang. 

Tuduhan Bambang semakin liar. Dia menyebut pada 4 Agustus 1965 --dua bulan sebelum G30S terjadi, Bung Karno sempat mengadakan pertemuan khusus dengan Komandan Resimen Cakrabirawa Brigadir Jendral Sabur dan Letkol Untung di Istana. Kepada keduanya, Bung Karno meminta agar segera diambil 'tindakan' kepada para para jendral yang tidak loyal. 

Pernyataan Bambang memunculkan reaksi keras dari Saelan. Saelan mengatakan tuduhan yang disampaikan Bambang adalah kebohongan. Menurut Saelan, pada malam 30 September 1965 dirinya terus mengawal Bung Karno di acara Munastek. 

Selama menjaga Bung Karno dia tidak melihat ada anggota Cakrabirwa yang datang mendekati Bung Karno. Selain itu, tambah Saelan, Bung Karno juga tidak pernah meninggalkan kursinya hingga masuk sesi pidato.



“Saya yang terus mendampingi Bung Karno dan tidak pernah meninggalkannya walaupun sebentar tidak melihat kedatangan pelayan Sogol yang menitipkan sepucuk surat yang katanya dari Untung untuk diserahkan kepada Bung Karno,” kata Saelan menegaskan. 

Saelan mengatakan, terdapat sejumlah kejanggalan dari kesaksian Bambang. Menurutnya tidak mungkin seorang perwira militer sekelas Untung menitipkan surat dengan tingkat kerahasiaan tinggi kepada seorang pelayan seperti Sogol. 

Selain itu, Teperpu juga tidak pernah memeriksa Sogol atas kesaksian yang disampaikan Bambang. Soal pertemuan Bung Karno dengan Sabur dan Untung pada 4 Agustus 1965 juga dibantah Saelan. Menurutnya pada tanggal itu Sabur dan Untung sedang tidak bertugas di Istana. 

“Sehingga sangat tidak mungkin pada hari itu mereka berdua bertemu presiden di Istana. Apalagi sampai Bapak langsung memberikan penugasan untuk menculik,” ujar Saelan. 

Yang membuat hati Saelan miris, tuduhan Bung Karno terlibat G30S tidak disampaikan musuh Bung Karno. Tuduhan itu justru disampaikan ajudan yang amat disayangi Bung Karno. 

Ya, sebelum peristiwa G30 meletus, Bambang merupakan ajudan kepercayaan Bung Karno. Boleh dikata Bambang adalah anak emas Bung Karno. “Iya dia anak emas Bapak,” kata Saelan. 

Saelan sendiri baru mengetahui tuduhan Bambang selepas keluar dari penjara. Dia mengaku sempat menghubungi Bambang untuk meminta penjelasan atas keterangannya di BAP. “Kamu kok menulis seperti itu tentang Bapak? Maksudnya apa?” tanya Saelan kepada Bambang. “Saya ingin kita bertemu,” tambah Saelan. Ajakan Saelan bertemu tidak pernah dipenuhi Bambang. 

Saelan menceritakan dirinya sempat diminta menandatangangi BAP yang sudah dibuat Teperpu. Saelan menolak. Dia menilai isi BAP mendiskreditkan dan memojokan Bung Karno dalam peristiwa G30S. Bahkan BAP itu jelas-jelas menuduh Bung Karno sebagai dalang G30S. 

“Gara-gara tidak mau tanda tangan saya dipenjara selama lima tahun (empat tahun delapan bulan),” ujar Saelan. 

Belakangan Saelan tahu kenapa Bambang rela membuat tuduhan keji kepada Bung Karno. Menurutnya dari sekian banyak ajudan yang terkenal dekat dengan Bung Karno, hanya Bambang yang tidak dipenjara rezim Soeharto. 

Mereka yang lain seperti Brigardir Jendral Saboer yang menjabat sebagai Komandan Cakrabirawa di penjara. Letnan Kolonel (Pol) Mangil Martowidjojo yang menjabat Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa ditahan selama tiga setengah tahun. Letnan Kolonel Soeprapto, pengemudi mobil Kepresidenan ditahan lima tahun. Letnan Kolonel Infantri, Ali Ebram yang menjabat sebagai Asisten Intelejen Resimen Cakrabirawa ditahan 12 tahun. 

Sedangkan Saelan sendiri ditahan empat tahun delapan bulan. “Sekarang saya mengerti kenapa hanya Bambang satu-satunya orang yang tidak dipenjara,” katanya. 

Kesaksian Bambang yang tidak akurat dan bahkan cenderung mengada-ada memang menarik untuk dicermati. Pasalnya, pemeriksaan terhadap Bambang baru dilakukan pada akhir 1970. Alhasil, kesaksian Bambang soal keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa G30S muncul setelah Bung Karno wafat pada Juni 1970. 

Spekulasi yang berkembang menyebutkan pemeriksaan Bambang sengaja dibuat terlambat agar tidak bisa dikonfrontir dengan Bung Karno. “Pengakuan Bambang bukan fakta. Seluruhnya karangan yang dibuat untuk mencari-cari kesalahan Bung Karno,” kata Saelan menyayangkan terbitnya buku-buku yang merujuk kesaksian Bambang.

(Sumber: REPUBLIKA.CO.ID )