Menangkal Korupsi di Tubuh Polri

on 23 Januari 2012
Salah satu tuntutan masyarakat dalam pemilu lalu adalah presiden terpilih harus mampu menegakkan supremasi hukum dan memberantas korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membawa label perubahan dan selalu berjanji akan memberantas korupsi, akhirnya terpilih sebagai presiden.Ternyata, setelah 100 hari pemerintahan SBY, masyarakat baru menyadari bahwa sangat tidak mudah memberantas korupsi di negeri ini. Maklum, wabah korupsi sudah begitu kronis. SBY sendiri tampak masih tetap konsisten dengan janjinya. Berbagai langkah terus dilakukannya. Salah satunya akan memburu para koruptor yang lari ke luar negeri.

Namun gebrakan SBY memberantas korupsi tersebut tidak sistematis dan tidak memiliki skala prioritas. Misalnya, apakah dari hulu terlebih dahulu atau dari hilir. Jika dari hulu prioritasnya adalah penataan total di lembaga perangkat hukum. Sehingga, semua hasil dari penataan tersebut diarahkan untuk bersatu padu memberantas korupsi.

Skala prioritas dan langkah sistematis ini yang belum terlihat. Lembaga kepolisian misalnya, belum tersentuh sama sekali oleh SBY. Padahal, Polri adalah pilar utama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Polri adalah hulu yang akan mengaliri jeram dunia hukum yang berliku, yang selama ini selalu melindungi para koruptor. Polri sangat berperan menginspirasikan bagan hukum yang akan dibangun di hilir oleh para hakim dalam menghukum para koruptor.

Anehnya, SBY cenderung membuat kepemimpinan di Polri status quo? Ketika Transparansi Internasional Indonesia (TII) mengumumkan hasil surveinya bahwa Polri menjadi lembaga kedua terkorup, setelah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, kita pun tersentak. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, pemberantasan korupsi seperti apa yang akan dilakukan SBY, jika garda terdepannya dalam pemberantasan korupsi justru menjadi lembaga terkorup nomor dua di negeri ini?

Sebenarnya, hasil survei TII itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sejak lama publik sudah merasakan sendiri bagaimana sesungguhnya perilaku aparat Polri di lapangan. Banyak hal di luar hukum yang bisa menjadi kata kunci dalam menyelesaikan berbagai hal. Tak peduli, masyarakat itu korban yang sedang kesusahan. Jaminan pelayanan publik seakan tak lagi diberikan.
Dampak dari kecenderungan ini, publik bukan hanya melihat betapa mahalnya ongkos membina kepolisian, tapi publik juga merasakan betapa tidak efektifnya sistem yang diterapkan kepolisian dalam menegakkan supremasi hukum dan memberantas korupsi. Akhirnya, publik merasakan bahwa lembaga kepolisian dan jajarannya kurang memberikan perlindungan. Bahkan, banyak di antara warga masyarakat yang sungkan berhubungan dengan polisi.

Jika kita mau jujur, hasil survei TII itu bukan hanya pukulan bagi Polri, melainkan juga peringatan bagi Presiden SBY, yang kerap mendengung-dengungkan pemberantasan korupsi. Tapi seperti kata Barbara Ward dalam bukunya Hanya Satu Bumi, Kita harus terus berusaha. Kita tak boleh mengabaikan kapasitas orang untuk tergerak oleh argumen kebaikan. Bagaimanapun hasil survei TII itu adalah sebuah argumen untuk menuju kebaikan.

Kita pun melihat bahwa label yang dikibarkan SBY di masa kampanye pemilihan presiden merupakan sebuah argumen menuju kebaikan. Dengan label perubahan dan peningkatan pelayanan di semua bidang, SBY berjanji akan membawa negeri ini menuju perbaikan. Seperti kata Barbara, kita tak boleh mengabaikan argumen menuju kebaikan yang 'ditawarkan' SBY tersebut. Meski demikian, SBY perlu diingatkan bahwa argumen tersebut harus pula diperkaya dengan strategi yang tajam dan sistematis, dengan skala prioritas yang komprehensif. Sehingga argumen itu tak sekadar menjadi janji kosong yang penuh omong kosong.
Strategi yang tajam untuk memberantas korupsi perlu dilakukan SBY dengan menata lembaga kepolisian secara sistematis dan maksimal. Salah satunya mereposisi para petinggi Polri. Bagaimanapun seorang Kapolri harus mampu memberikan api dan cahaya dalam diri semua personel bawahannya. Sehingga mereka dapat melihat, apa yang terjadi selama ini di dunia kepolisian merupakan sebuah bencana.

Bencana ini merupakan gambaran bahwa integritas jajaran Polri semakin diragukan. Bencana ini menjadi gambaran bahwa status quo sedang terjadi di lembaga Polri. Ke depan situasi ini akan semakin mengganggu aspek profesionalitas, kualitas, maupun kuantitas kinerja Polri. Sesuai dengan tekadnya semula, SBY pun harus mendorong terjadinya perubahan di tubuh Polri. Perubahan ini tentunya harus dimulai dari yang paling inti dalam Polri, yaitu semangat dan jiwa pengabdian. Dengan demikian, akan terbangun sebuah kesadaran di seluruh jajaran Bayangkara untuk selalu melakukan perubahan dan pemberantasan korupsi.

Sebagai upaya untuk meniadakan segala bentuk laku korupsi di tubuh Polri, diperlukan suatu keteladanan. Dalam hal ini, sudah barang tentu arahan dan sikap tegas Kapolri dalam penindakan korupsi sangat ditunggu-tunggu. Internal Polri harus mau dan mampu bersikap tegas, mau dan mampu bersikap jujur, mau dan mampu bersikap profesional, punya komitmen yang kuat untuk menegakkan supremasi hukum, dan punya komitmen yang kuat memberantas korupsi. Bagi Polri, kedelapan poin itu sebenarnya merupakan roh dalam konsep perubahan yang disuarakan SBY selama ini. Dan, hal itu pun yang saat ini (sedikit banyak) sedang digalakkan di tubuh Polri.

Tidak ada pilihan lain bagi Polri untuk berbenah diri secara maksimal. Sehingga ke depan, Polri mampu menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, menciptakan keamanan, dan ketertiban masyarakat. Internal Polri harus mampu menjadikan lembaga kepolisian mandiri dan selalu bertindak profesional dalam menjalankan fungsinya. Anggota Bayangkara yang selalu berjiwa pengayom masyarakat dan mampu menegakkan hukum dalam kerangka criminal justice system. Tanpa itu, jajaran Polri akan semakin kehilangan integritas sebagai pengayom masyarakat.(Neta S Pane: Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 26 April 2005

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME REFLEKSI DARI KETIDAKTERTIBAN SOSIAL

on 18 Januari 2012
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberani.

Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).

Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi. 

Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktek KKN ini merupakan salahsatu penyakit akut yang terjadi dimasa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat saja.

Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.

Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini.

Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.

Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.

Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.

Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus matarantainya.

Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti seperti halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari "mewah". Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Artinya pokok permasalahan dari korupsi adalah bagaimana pola pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi ? Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan menumpuk kekayaan atau secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan disalurkan bagi yang membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral.

Hal ini berarti bicara bagaimana pola tingkah laku, peresapan ajaran agama, moralitas dan hal-hal lain yang mempengaruhi mental seseorang. Begitu pula halnya dengan kolusi dan nepotisme yang akar permasalahannya terletak pada kekalahan dari idealisme sosial yang berisi nilai-nilai yang dapat menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Kolusi dan nepotisme telah menjadi kebiasaan dalam struktural masyarakat kita. Hal ini bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan merupakan barang yang mahal saat ini. Tapi untuk sebagian orang yang melewati jalan belakang ini sangatlah mudah. Misalnya cukup dengan membayar sejumlah uang dalam jumlah besar atau dengan membawa surat sakti dari "orang kuat" atau melobi keluarga dekat yang berada dalam struktur lapangan kerja yang diinginkan. Bila ini diimbangi dengan kualitas yang bagus tidak masalah, walaupun rasa keadilan tetap masih ternodai. Tapi kalau kualitasnya jelek, ini sama saja dengan menempatkan orang yang bukan ahlinya yang kelak justru akan menambah pada kehancuran. Parahnya hal ini seakan telah menjadi prosedural bukan saja diinstitusi swasta tapi juga di pemerintahan.

Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku tersebut dijerat oleh hukum? Atau justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan menentang jalur-jalur belakang ini atau justru lahir sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti adanya tertib nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat. Dengan berubahnya pola tingkahlaku yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan, agama dan etika moral akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi Undang-undang saja. Jadi perlu adanya keseimbangan antara tertib sosial dan tertib hukum untuk dapat mencapai reformasi yang mensejahterakan masyarakat.